Jumat, 18 November 2011

HARTA DALAM PRESPEKTIF ISLAM


     Harta Dalam Pandangan Islam
Di dalam bahasa Arab harta disebut al-mal atau jamak dari al-amwal. Harta menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairus Abadi, adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian. Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama, memiliki unsur nilai ekonomis. Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/adat) yang berlaku di tengah masyarakat. As-Suyuti berpendapat bahwa istilah al mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungnya status al-mal terletak pada nilai ekonomis (al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah dalam harta tergantung pada besar kecilnya manfaat suatu barang. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta.[1]
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut : Pertamapemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah Swt. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Allah berfirman,
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Q.S. Al-Hadiid : 7)
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal : usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
Keduastatus harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah Swt. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Allah berfirman,
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S Ali Imran : 14).
Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri. Allah berfirman,
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (Q.S Al Alaq : 6-7).
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Allah berfirman,
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.  (Q.S Al Anfal : 28)
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah. Allah berfirman,
”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S At Taubah : 41)

Ketiga, pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (amal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Allah berfirman,
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S Al Baqarah : 267)

Keempat, dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati, melupakan Zikrullah/mengingat Allah, melupakan sholat dan zakat, dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja.

Kelima,  dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, jual beli barang yang haram, mencuri / merampok, curang dalam takaran dan timbangan, melalui cara-cara yang batil dan merugikan, dan melalui suap menyuap.[2] 

Sifat Harta
a.       Harta adalah Perhiasan Dunia
Syariat Islam mengajarkan kepada manusia agar menikmati kebahagiaan dan kebaiakan hidup di dunia. Menurut Islam, kehidupan yang sejahtera secara ekonomi haruslah diupayakan. Dorongan memperoleh harta secara berkecukupan bukanlah sesuatu yang hina, karena Allah menempatkan harta sebagai perhiasan dan kesenangan. Allah berfirman,
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Q.S Al Kahfi : 46)
Sebaliknya, manusia tidak perlu menghindari harta karena bukan selamanya harta itu bencana bagi pemiliknya. Dalam berbagai ayatnya, Al Qur’an menegaskan bahwa Allah mengaruniakan sebagian besar kekayaan dan kehidupan nyaman yang diperuntukan bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa sebagai balasan atas amal saleh dan upaya mereka yang bersyukur kepada Allah. Sedangkan kehidupan yang sempit, kemiskinan dan kelaparan sebagian besar merupakan hukuman yang dipercepat Allah bagi mereka yang berpaling dari jalan yang lurus. Contohnya adalah firman Allah kepada bapak manusia (Adam) ketika keluar dari syurga turun ke bumi, tempat membanting tulang untuk melangsungkan kehidupan.
b.      Harta adalah Ujian
Menurut perspektif Islam, harta bukanlah sebagai alat untuk bersenang-senang semata. Namun, harta juga merupakan ujian kenikmatan dari Allah Swt. Allah berfirman,
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S Al Baqarah : 155)
Harta merupakan ujian kenikmatan yang diberikan Allah untuk menguji hamba-Nya, apakah dengan harta itu mereka bersyukur atau menjadi kufur. Oleh sebab itu, disebutkan oleh Allah sebagai fitnah atau ujian. Allah berfirman,
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Q.S Al Anfal : 28)
Harta bukan sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Mulia atau hinanya seseorang tidak dinilai dari harta yang dimilikinya. Allah menguji seseorang dengan perasaan takut terhadap musuh, musibah, kelaparan dan kekurangan, serta kekurangan harta. Harta merupakan poros penghidupan seseorang dan sebagai sarana untuk mencapai segala keinginan dan hasrat duniawi. Untuk mendapatkan harta manusia rela menanggung kesusahan dan kesulitan, namun hukum syara mengharuskan manusia untuk mencari harta halal dan mendorong manusia untuk berhemat. Begitupula untuk memelihara harta, mereka bersedia susah payah namun hawa nafsunya saling bertempur dengan hati nuraninya sendiri dimana syariat mewajibkan penyisihan atas harta dimana ada hak-hak tertentu yang harus dikeluarkan untuk zakat, nafkah lainnya, baik untuk anak dan istri, dan lain-lain. 

Pengharaman Menimbun Harta
Islam mengharamkan seseorang menimbun harta, Islam mengancam mereka yang menimbun dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Ancaman-ancaman itu tertera dalam nash-nash yang tegas dalam Al Quran, dalam firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”  ( Q.S At Taubah : 34-35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya, dan menjauhkannya dari peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar terhadap perekonomian dan terhadap moral. Bahaya dari penimbunan ini dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kerja (identik dengan menimbulkan pengangguran), dapat mengurangi pendapatan yang akhirnya akan mengurangi daya beli masyarakat, produksi dan permintaan menjadi menurun, dan akhirnya dapat menciptakan penurunan ekonomi dalam masyarakat. 

Etika Terhadap Harta
            Kehidupan seorang muslim selalu dituntun untuk bekerja (etos gerak). Al Qur’an mendorong      muslim untuk bergerak dan berbuat sesuatu yang baik secara aktif. Islam yang dikonotasikan dengan “jalan”, memberikan gambaran bahwa ajarannya adalah ajaran dinamis, bergerak, dan berubah menuju kesempurnaan sesuai dengan yang dicita-citakan. Orang Islam yang berjalan di atas jalan tersebut lazimnya bergerak, dinamis, aktif serta tidak diam (pasif) dalam suatu kondisi. Bagi orang yang mencari perubahan, Allah menjanjikan kemudahan dan keleluasaan sebagai apresiasi atas usaha yang dilakukan oleh manusia. Allah berfirman,
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S An Nisa : 100)
Sehingga pada dasarnya Al Qur’an maupun As Sunnah telah memberikan berbagai apresiasi untuk mendorong manusia agar berbuat dan berkreasi sesuai dengan profesi dan potensi masing-masing untuk mendapatkan harta secara halal serta mendistribusikan. Anjuran dan suruhan Al Qur’an terhadap usaha dan pemenuhan tanggung jawab, bukan sedekar perintah bekerja yang hanya menghasilkan materi. Al Qur’an menghendaki agar kerja manusia diorientasikan pada nilai-nilai suci, bukan sekedar materi secara unsich. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaan untuk kemaslahatan dalam memenuhi hajat hidup manusia.
           Al Qur’an memberikan orientasi melalui tata cara dalam mencari materi yang harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi tersebut untuk memberikan keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi. Keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan, maupun terhadap sesama manusia. Tata cara tersebut diantaranya adalah melarang manusia bertransaksi yang tidak legal baik dalam perspektif yuridis maupun etis, penyempurnaan timbangan atau takaran dalam transaksi, larangan bersistem riba, dan menekankan tanggung jawab.


[1] M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 40.
[2] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Muammalah (Jakarta : Rajawali Press, 1988), hal. 85.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More