Rabu, 09 November 2011

UANG DALAM ISLAM

Pada dasarnya, Islam tidak memiliki mata uang sendiri pada zaman Rasulullah. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menetapkan penggunaan uang yang berasal dari emas dan perak dari negara lain. Dinar emas berasal dari Romawi (Dinar Heraclius), sedangkan dirham perak berasal dari Persia (Dirham Baghli). Artinya Rasulullah mengakui dan memberlakukan mata uang tersebut dalam transaksi perekonomian umat Islam. Hal ini dilakukan oleh beliau tidak lepas dari siasat politik, mengingat posisi umat Islam waktu itu masih lemah dan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Romawi dan Persia baik dari segi politik maupun ekonomi. Dan secara geografis, wilayah Arab memang dikelilingi oleh dua kerajaan tersebut.


Uang Islam secara resmi dan penuh pertama kali diterbitkan dalam bentuk dinar dan dirham Islam pada masa Khalifah Bani Umayah, Abdul Malik bin Marwan. Pada saat itu dinar dan dirham dicetak sesuai dengan timbangan yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Sebelumnya Khalifah Umar pernah menerbitkan dirham, namun karena masih bercampur dengan unsur Persia maka tidak bisa disebut uang islam. Sampai saat ini, dinar dan dirham menjadi identik dengan Islam, padahal yang pertama menggunakan bukanlah umat Islam. Secara umum, ada perbedaan pendapat dintara fuqaha tentang keharusan penggunaan dinar dan dirham oleh umat islam sebagai mata uang dalam perkonomian. Pendapat pertama menyatakan bahwa uang adalah bentuk penciptaan dan hanya terbatas pada dinar dan dirham. Artinya, tidak ada bentuk mata uang lain yang boleh dipergunakan selain dinar dan dirham, termasuk juga uang kertas yang beredar saat ini. Karena menurut mereka Allah telah menciptakan emas dan perak sebagai tolok ukur nilai. Sebagai buktinya adalah banyaknya istilah emas dan perak yang disebut dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghazali, Ibnu Qudamah, dan Al-Maqrizi. Dikatakan oleh Maqrizi, “Sesungguhnya uang yang menjadi harga barang-barang yang dijual dan nilai pekerjaan adalah hanya emas dan perak saja. Tidak diketahui dalam riwayat yang shahih maupun yang lemah dari umat manapun dan kelompok manusia manapun, bahwa mereka dalam masa lalu dan masa kontemporernya selalu menggunakan uang selain keduanya.

Pendapat kedua menyatakan bahwa uang adalah masalah terminologi. Maka segala sesuatu yang secara terminologi manusia dapat diterima dan diakui oleh mereka sebagai tolok ukur nilai, maka bisa disebut sebagai uang. Pandangan ini lebih dekat dengan definisi uang yang ada saat ini. Pendapat ini juga menyepakati substansi dari pernyataan Umar r.a sebagai berikut: “Aku ingin menjadikan dirham dari kulit unta” Lalu dikatakan kepadanya, “Jika demikian, unta akan habis” maka dia manahan diri. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin dapat uang dari materi apapun dan dengan bentuk apapun selama dapat merealisasikan kemaslahatan, dan tidak menyalahi aturan syariah. Pendapat kedua ini didukung oleh Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Hazm. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa uang kembali pada terminologi manusia bahwa sesuatu itu adalah uang, dan ia beragam bentuknya sesuai keragaman tradisi dan adat istiadat manusia; dan beliau menafikan adanya uang yang pasti dengan hukum sya’i atau hukum alami (penciptaan). Dalam hal ini uang kertas yang banyak beredar saat ini secara fiqih dapat dinyatakan sebagai uang selama dalam terminologi manusia masih disebut uang.Perbedaan pendapat ini tidak hanya terkait lahiriah dan fisik dari uang itu sendiri, tapi lebih jauh adalah pada hal-hal yang substansial (misal:posisi zakat dan riba) . Hal ini mengingat bahwa uang memiliki peranan yang sangat penting; pelayanan besar yang diberikan oleh uang dalam perkonomian, hubungan yang kuat antara uang dan perekonomian, pengaruh uang yang sangat besar, dan uang merupakan salah satu faktor kekuasaan dan kemandirian ekonomi.

Pendapat kedua merupakan pendapat yang lebih kuat, sehingga para ekonom sepakat bahwa uang adalah masalah terminologi. Mereka berpendapat bahwa uang itu berarti segala sesuatu yang beredar penggunaanya dab terjadi penerimaannya. Dalam hal ini, benda apapun boleh dijadikan sebagai mata uang, namun harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan :* Islam melarang setiap hal yang berdampak pada bertambahnya gejolak dalam daya beli uang, dan ketidakstabilan nilainya yang hakiki. Contohnya: larangan perdagangan uang (karena uang adalah alat perdagangan, bukan yang diperdagangkan), dan pengharaman penimbunan uang. Inflasi adalah salah satu contoh menurunnya daya beli uang terhadap barang dan hal ini pernah terjadi pada masa Umar r.a dimana pada saat itu mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham. Artinya tidak ada jaminan bahwa dinar dan dirham akan mencegah terjadinya inflasi. Semua jenis bahan mata uang (emas, perak ataupun kertas) mempunyai potensi menimbulkan inflasi. Tugas negara adalah menjaga kestabilan nilai mata uang tersebut.* Apa yang disebut dengan uang harus diterima dan dipercaya oleh kebanyakan manusia agar fungsi dan nilalinya dapat terlindungi. Serta harus diatur dan diterbitkan oleh negara.* Dalam sistem moneter, ada tiga unsur pokok yang harus terpenuhi, yaitu dasar moneter, kesatuan hitungan (kesatuan mata uang), dan sarana tukar-menukar. Jika merujuk pada sistem keuangan di Arab Saudi, yang menjadi dasarnya adalah emas dan satuannya adalah riyal, sedangkan sarananya adalah kertas-kertas yang dikeluarkan oleh perbankan.Menyikapi penggunaan uang kertas yang beredar saat ini, secara lahiriah bahan dan bentuk bisa diterima sebagai uang sesuai dengan pendapat kedua di atas. Hanya saja penggunaannya saat ini banyak menimbulkan masalah dan krisis keuangan di banyak negara. Negara kuat bisa seenaknya mencetak mata uangnya dan melemahkan mata uang negara lain, karena tidak ada beban dan murahnya nilai kertas itu sendiri, hal ini karena tidak ada dasar moneter yang kuat. Sehingga muncul, wacana untuk kembali pada penggunaan emas dan perak (dinar dan dirham).Pada akhirnya, penggunaan uang bisa dilakukan sekreatif mungkin dan bahanya bisa menggunakan apapun mengkuti perkembangan zaman dan adat istiadat manusia, yang penting adalah dapat merealisasikan kemaslahatan, dan tidak menyalahi aturan syariah.

Sumber :
“Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab”, DR, Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi
“Ekonomi Makro Islami”, Adiwarman A. Karim

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More